SPACE IKLAN

header ads

Ternyata Ahli Hukum Pidana, Nyatakan Pasal Dakwaan Ruslan Buton Tidak Memenuhi Unsur

Berita Nasional
HEADLINE NEWS
Oleh. Mell
Editor. L. Muhasan
27 Agustus 2021.

 Jakarta - Persidangan perkara tindak pidana penyebaran berita bohong (Hoaks) melalui sosial media dengan terdakwa Ruslan Buton, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada, Kamis (26/8/2021). 

Adapun agenda pada kesempatan itu yakni menghadirkan saksi meringankan atau keterangan ahli hukum pidana.

Ruslan Buton didampingi oleh tim kuasa hukum yakni Hudi Yusuf SH. MH, Suta Widhya SH, Rekana Lumbansiantar SH, Mayor TNI CHK (Purn) Marwan Iswandi SH, Andri Yusudarso SH, Andi Mardana SH, Elvan Gomes SH, Drs Abdullah Al Katiri SH, Syqmsir Jalil SH. MH, dan M Ridwan Duealuman, SH.

Sejumlah pertanyaan diajukan oleh kuasa hukum Ruslan Buton kepada Ahli Bidang Hukum Pidana. Ruslan didakwa telah melanggar empat pasal alternatif, pertama Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kedua, Pasal 14 ayat (1) UU no. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Ketiga, Pasal 14 ayat (2) UU no. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dan, keempat, Pasal 15 UU no. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Kuasa hukum mempertanyakan keabsahan penetapan tersangka terhadap Ruslan Buton oleh penyidik berdasar hanya satu alat bukti, saksi sekaligus pelapor.

 "Apakah sah dan memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum jika barang bukti hanya satu?, namun Ahli menjawab bahwa unsur tindak pidana setidaknya harus mempunyai dua alat bukti." Katanya. Jumat (27/8/2021.

Dengan demikian, kuasa hukum menilai bahwa penyidik tidak punya bukti yang cukup untuk mentersangkakan Ruslan.

 "Unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi karena hanya ada satu alat bukti saja," kata Al Katiri usai sidang.

Al Katiri mengkritisi kutipan dakwaan kliennya. Menurutnya pasal-pasal yang dikenakan terhadap Ruslan tidak sinkron atau tidak dapat dibuktikan. "Ahli hukum pidana menjawab, terdapat satu tindakan kurang cermat dan teliti mengenai penetapan 'terdakwa' terhadap Ruslan Buton," kata Al Katiri.

"Dalam konteks UU ITE tidak ada konteks keonaran jika isi dari penyampaiannya hanya sebuah ungkapan dan bukan dalam katagori penyebaran berita hoaks. Baik pendapat pribadi maupun rekaan secara penilaian pribadi secara umum tidak resmi memenuhi syarat di persidangan," terangnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, untuk memutuskan satu perkara di persidangan adalah berdasarkan fakta persidangan yang meliputi keterangan saksi, bukan keterangan BAP (berita acara pemeriksaan). "Untuk bisa menjadikan ahli di dalam persidangan, ahli harus hadir dan menjelaskan secara syarat-syarat yang terkait dan pengetahuan yang falid," kata Al Katiri.

Seperti diberitakan sebelumnya, Ruslan ditangkap setelah membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Jokowi dalam bentuk rekaman suara pada 18 Mei 2020 dan kemudian rekaman suara itu menjadi viral di media sosial.

Dalam rekamannya, Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah bila Jokowi rela mundur dari jabatannya sebagai Presiden.”Namun bila tidak mundur, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat,” tutur Ruslan dalam rekaman suaranya.

Usai merekam suara, pelaku kemudian menyebarkannya ke grup WhatsApp (WA) Serdadu Eks Trimatra hingga akhirnya viral di media sosial.

Berkaitan pernyataan terbuka tersebut menurut hemat ahli hukum pidana, perbuatan terdakwa tidak ada unsur penghinaan dan ujaran kebencian, menyinghung agama, ras, suku, bangsa dan perorangan serta tidak memenuhi unsur tindak pidana UU ITE.

"Pro dan kontra yang hanya terlaksanakan terbatas dan tidak termasuk unsur tindakan keonaran. Sebab dan akibat sebagai perkara keonaran dan berita bohong harus dibuktikan secara real dan sesuai yang tertera dalam UU," ujarnya.

"Dalam Pasal 14 ayat (1) adalah bahwa si pelaku tahu kalau dalam konteks tersebut tergolong berita bohong atau objek tidak terbukti atau perbuatan menyebarkan ujaran kebencian, keonaran masih melayangkan berita tersebut maka itu bisa masuk dalam katagori tindakan melawan hukum dan ancaman maksimal 10 tahun," kata Ahli.

Kuasa hukum Ruslan Buton Suta Widhya SH Ahli telah menjelaskan bahwa dakwaan Ruslan Buton tidak memenuhi unsur formil.

Setelah mendengar keterangan ahli meringankan adh card, majelis hakim kembali menunda sidang hingga Kamis (2/9) mendatang dengan agenda ahli dari Dewan Pers.

Usai menjalani persidangan, Ruslan Buton dengan penuh percaya diri dan sangat transparansi menyatakan siap mempertaruhkan nyawa demi keutuhan bangsa dan negara.

"Di dalam jiwa dan kepedulian insting tertanam sumpah Jiwa prajurit yang sejati untuk negara kesatuan republik indonesia, keadilan selalu terjunjung tinggi negara kesatuan Republik Indonesia tetap berteguh kuat pada Undang Undang dan pancasila," pungkasnya.


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar