SPACE IKLAN

header ads

Sampah Adalah Biaya, Legislatif Harus Peras Otak Bantu Eksekutif Temukan Sumber Pembiayaan

Penulis Ir. Madani Mukarom Kadis LHK Provinsi NTB. 

Ada yang menarik yang disampaikan Mantan Strategy Leader WWF-CTNI Drh. IB Windia Adnyana, P.hD. terkait soal sampah yang nyaris tak pernah selesai penanganannya di negeri ini. Sampah selalu menjadi masalah, sementara banyak pihak terbuai pada hal-hal ornamental yang diekspresikan dengan berbagai jargon indah "sampah adalah berkah", "kumpul sampah dapat emas", "bayar pajak kendaraan dengan sampah" dan lain-lain. 

Semua itu semu. Sampah adalah biaya. 

Menurut PhD lulusan Australia itu, urusan sampah adalah urusan serius. Ini setara dengan urusan kesehatan. Jika dalam konteks kesehatan mengenal sistematika piranti Puskesmas - RSUD - RSUP yang konektivitasnya dilayani oleh ambulan plus rujukan. Dalam konteks sampah pun harus ada sistematika itu. Tugas masing-masing tingkatan piranti sudah jelas, yang tidak bisa ditangani Puskemas dirujuk ke RSUD, yang tidak bisa ditangani RSUD dirujuk ke RSUP. Dalam sampah pun mestinya ada TPS/TPST - TPA - TPA Regional. ‘’Prinsipnya sama saja. Jika pembangunan infrastruktur kesehatan memerlukan biaya besar, demikian pula halnya dengan sampah. Sekali lagi, sampah adalah biaya,’’ katanya.

Pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan Unud mengatakan, saat ini, dampak yang diakibatkan oleh manusia terhadap lingkungan sangat dahsyat. Salah satunya adalah dampak sampah, yang secara kasat mata sudah "hampir menghancurkan" ekosistem darat-laut. 

Pembuktian hal itu dengan mudah diperoleh dan dibaca dari hasil-hasil riset yang tersebar di berbagai situs. Secara matematis, dampak tersebut  bisa ditulis sebagai: I = P * A * T. I = impact/dampak, P = populasi manusia, A = affluent atau pola/tingkat konsumsi, T = teknologi atau sistem (perilaku).

‘’Rumus matematis ini mengindikasikan bahwa dampak sampah akan semakin dahsyat (meningkat) jika populasi meningkat, pola konsumsi meningkat, tetapi tidak disertai dengan kreasi teknologi/sistem yang mendorong efisiensi pemakaian sumberdaya,’’ katanya. 

ilustrasinya adalah sebagai berikut. Jika populasi di satu wilayah meningkat 2 kali dalam satu dekade, dan pola konsumsi juga meningkat dua kali, maka wilayah tersebut harus bisa menemukan teknologi/sistem penggunaan sumberdaya alam yang bisa 4 kali lebih efisien dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Secara matematis rumus I= P*A*T akan menjadi 1 = 2 * 2 * 1/4. 

‘’Hanya dengan cara itu, dampak bisa dibuat konstan (1) atau bahkan diperkecil jika efisiensi teknologi bisa lebih ditingkatkan lagi,’’ katanya. 

Dia mengatakan, peningkatan efisiensi teknologi tentu saja tidak gratis. Ini membutuhkan biaya, dan itu tidak kecil. Pengalaman dari negara-negara maju menunjukkan bahwa biaya penanganan per-ton sampah (menyangkut sistem dan teknologinya) adalah antara 85 - 250 USD, setara dengan Rp 1.200.000 – Rp 3.500.000. Kisaran yang lebar itu, tergantung dari banyak faktor seperti perilaku masyarakat, kemudahan transportasi, serta teknologi pemusnahan dan pengembalian sampah ke alam. 

 ‘’Untuk apa saja duit itu? Untuk membiayai proses: pengumpulan dan pengangkutan, pemilahan (sorting), composting, digesti anaerob dengan pemulihan energi, serta penimbunan (landfilling) dan/atau insinerasi dengan daur ulang energy,’’ katanya.

Jumlah penduduk di NTB sekitar 5 juta jiwa. Menurut berbagai riset, volume sampah per-orang per-hari berkisar antara 0,4 - 0,7 kg, tergantung dari pola konsumsi. Dengan demikian, untuk NTB volume sampah yang harus ditangani per-hari, antara 2.164 ton - 3.787 ton. Jika diambil nilai tengah, maka volumenya menjadi sekitar 2.600 ton. 

Seperti disebutkan sebelumnya, biaya untuk menangani 1 ton sampah agar bisa dikembalikan ke alam dengan aman berkisar antara Rp 1.200.000 - 3.500.000. ‘’Mari kita ambil angka terkecil (Rp 1.200.000), dengan demikian, biaya (sistem dan teknologi) untuk menangani volume sampah di NTB per hari adalah: Rp 1.200.000 x 2.600 ton = Rp 3.120.000.000,- Dalam setahun, jumlahnya menjadi Rp 3.120.000.000 x 365 hari = Rp 1.138.800.000.000,-. Wow…, satu triliun seratus tiga puluh delapan miliar delapan ratus juta rupiah, what a big money!,’’ katanya.

Jika digabung seluruh anggaran Kabupaten/Kota se-NTB plus Pemerintah Provinsinya, angkanya belum mencapai 10% dari total yang dibutuhkan itu. ‘’Apa yang bisa diharapkan dari alokasi anggaran sekecil itu,’’ katanya. Apapun jurus dan strategi yang diterapkan, pasti tidak akan mencapai hasil maksimal. Kalaupun dalam laporan-laporan itu dinyatakan berhasil, bisa digaransi bahwa itu adalah keberhasilan semu. ‘’Itulah fenomena yang terjadi saat ini,’’ katanya. 

Kata dia, Undang-Undang tentang  Pengelolaan Sampah sudah ada sejak 14 tahun yang lalu (Tahun 2008) ditertapkan. Demikian pula regulasi yang mengikutinya. Tapi tetap saja sampah belum terkelola dengan baik, karena sejatinya, dalam kurun 14 tahun itu, tidak banyak yang mengerti, menyuarakan, berkomitmen bahwa "sampah adalah biaya". 

Lalu, biaya pengelolaan sampah darimana? NWindia Adnyana mengatakan, berdasarkan UU No 18/2008, Pasal 24 dinyatakan bahwa "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah". Pembiayaan bersumber dari APBN serta APBD. Dan ini harus diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah. Realitanya? Bisa ditebak, "kewajiban" pembiayaan itu memang dipenuhi, tapi dengan angka yang jauh dari mencukupi. 

Sejatinya kata dia, regulasi di semua tingkatan pemerintah sudah cukup baik, demikian pula dengan kebijakan strateginya. Pekerjaan rumah yang tersisa hanyalah masalah eksekusi, dan ini tergantung biaya. ‘’Tampaknya, disinilah peran setiap orang, apalagi anggota legislatif untuk bersama-sama memeras otak membantu pihak eksekutif untuk menemukan sumber-sumber pembiayaan yang sah, berkecukupan, dan berkesinambungan,’’ katanya. 

Dia mengatakan, banyak jalan kearah itu, yang diperlukan adalah itikad baik dan komitmen para pihak serta keseriusan dalam menangani masalah sampah. 

‘’Mari hentikan diskusi tentang pernak-pernik ornamental pengelolaan sampah. Mari fokus pada masalah utama: menemukan sumber-sumber dan mekanisme pembiayaan agar semua yang sudah direncanakan bisa terwujud,’’ katanya.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar