SPACE IKLAN

header ads

Pernyataan sikap BEM UIKA Bogor, Gentingkah Ciptaker Disahkan Atau Sekedar Kepentingan Pribadi Pemangku Kebijakan ?

Foto. Istimewa.

Oleh. Mell
Rabu 5 April 2023.

BOGOR, WartaBumigora - Pada hari Rabu, 15 Februari 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif

telah melakukan pencedaraan pada harapan serta cita cita masyarakat tertindas secara langsung.

Dewan Perwakilan Rakyat sekarang ini sangat tidak memandang bulu yang justru lebih memilih kehilangan harga dirinya dengan mengabaikan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dan justru malah menyetujui pembentukan Perpu Cipta Kerja yang sudah sangat jelas melawan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan hukum final dan mengikat.

Pada akhir Tahun 2022, sebagai awal dari pelecehan terhadap konstitusi oleh para pemangku kebijakan, lalu tepat pada 30 Desember 2022, Jokowi Widodo selaku Presiden Republik Indonesia dengan secara terang terangan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Ciptakerja. Tindakan pemerintah bukan merupakan wacana atau ancang ancang yang pertama dari pemerintah pusat mengingat Omnibus Law Ciptakerja telah dirancang pada tahun

2020 lalu, namun telah dinyatakan secara Inkonstitusional bersyarat pada 25 November 2021 melalui putusan No. 91/PUU XVIII/2020, dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Pemerintah untuk memperbaiki dalam kurun waktu dua tahun dengan mengedepankan partisipasi bermakna dari masyarakat. Namun nyatanya Presiden Jokowi Widodo justru mengkhianati perkataannya sendiri dengan menerbitkan Perppu yang isinya tak berbeda dengan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional. Padahal sejak tahun 2019, aturan ini telah ditolak oleh berbagai

elemen masyarakat dan memunculkan gelombang aksi protes besar di berbagai kota. Selain itu juga pada 21 Maret 2023 ini, DPR RI secara resmi dan terang terangan kepada rakyat telah meresmikan Perppu ini menjadi Undang - Undang dalam Sidang Rapat Paripurna ke - 18.

Presiden dan Perpu

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan suatu produk hukum yang diterbitkan oleh presiden dengan prosedur di luar kondisi normal. Dikatakan demikian karena Perppu merupakan produk yang dikeluarkan oleh eksekutif, tapi kedudukannya setara dengan Undang - Undang. Padahal, dalam teori separation of powers, kekuasaan legislasi berada pada lembaga legislatif. Namun, dalam hal ini justru presiden yang memimpin jalannya penerbitan suatu produk legislasi, yang dalam proses pembentukannya tidak melibatkan lembaga legislatif. Istilah lain dari Perppu ini antara lain constitutional decree authority, executive decree authority, atau presidential

decree authority.

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (disebut Perpu Cipta Kerja) telah menimbulkan pro kontra. Sebagai catatan, menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022 dan sesuai Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 bertanggal 08 Februari 2010, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang disingkat Perpu, bukan Perppu. Pro kontra

terbitnya Perpu Cipta Kerja terletak pada perdebatan apakah telah sesuai dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2021, atau sebaliknya bertentangan dengan putusan MK tersebut. Memang, dalam konteks negara hukum seperti Indonesia, ada keterikatan supremasi hukum (supremacy of law) di mana penyelenggaraan negara harus didasarkan dan tunduk pada aturan hukum.

Masalah utama Perpu Cipta Kerja

Pasca-putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, Presiden menerbitkan Perpu Cipta Kerja untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Pemerintah sebagaimana disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan dengan tegas bahwa penerbitan Perpu Cipta Kerja tidak menyalahi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.

Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja

Yang menjadi pertanyaan besar, apakah Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja memenuhi syarat ihwal kegentingan yang memaksa ? jelas dalam mengukur kondisi tersebut merujuk pada Pasal 22 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005 dan Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Dengan demikian penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja harus memenuhi syarat 3 (tiga) hal sebagai berikut :

1. Syarat adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.

Kondisi mendesak ditimbulkan atas Putusan MKRI No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat dan memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan dan jika tidak diindahkan dinyatakan inkonstitusional secara permanen serta memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang

berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kondisi tersebut jika tidak segera dipenuhi maka Undang Undang Cipta Kerja akan menjadi inkonstitusional permanen sehingga Presiden dan juga DPR dapat dianggap telah melakukan perbuatan pelecehan terhadap hukum, adanya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan Undang- Undang Cipta Kerja dan berhentinya kebijakan pemerintah yang bersifat strategis dan tentunya

berpengaruh terhadap ekonomi nasional.

PERPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang terbit pada tanggal 30 Desember 2022 oleh Bapak Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia telah memenuhi syarat adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. 

2. Syarat ada UU (UU CIPTA KERJA) tidak memadai.

Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 berdampak UU Cipta Kerja sebagai UU yang ada saat ini tidak memadai dan perlu segera dilakukan perubahan. Salah satu upaya terkait dengan metode Omnibus Law dalam pembentukan peraturan telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Begitu juga Perpu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja telah melakukan sinkronisasi dan perubahan substansi yang dianggap keliru sesuai amanat Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.

Syarat Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Sejak Putusan MKRI No. 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan menyatakan dilarangnya melakukan tindakan-tindakan yang strategis, maka sebetulnya terjadi kekosongan hukum bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan untuk mewujudkan hak-hak konstitusional warga negara, karenanya UU Cipta Kerja perlu dilakukan perubahan, namun karena

perubahan UU secara prosedural memerlukan tahapan dan waktu yang cukup lama, maka mempertimbangkan kepentingan yang substansial bangsa dan hak-hak konstitusional warga negara, maka syarat ini menjadi terpenuhi.

Merujuk pada Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945, maka Perpu ini harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, namun Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Di sinilah kontrol bagi Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan terhadap terbitnya PERPPU ini sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi.

3. Cipta Kerja yang Minim Urgensi.

Dari fundamental yang dijelaskan di atas ketika menjelaskan tentang Perppu maka hal yang seharusnya mendorong penerbitan produk hukum ini adalah adanya ihwal mendesak yang disebabkan karena adanya kondisi kekosongan hukum. Pemerintah dalam hal ini justru menggunakan alasan

resesi ekonomi yang menjadi musabab penyesuaian produk hukum dengan mengorbankan kepentingan kelompok pekerja dan masyarakat tertindas bukanlah menjadi solusi yang bijak dan tepat

dengan menerbitkan Perppu tersebut. Ihwal antisipasi inflasi, dan ancaman perang pada dasarnya hanyalah intrik dari para pemangku kebijakan belaka saja. Terlebih secara materiil hal ini telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK (Mahkamah Konsitusi).

Kecacatan Perppu CIPTAKER seakan mengeksploitasi para pekerja kaum bawah : 

 Implementasi sistem PKWT

 Pemotongan hak cuti dan hari libur

 Sistem Kerja Outsourcing

 Pembangkangan konstitusi

 Sistem UMP tidak logis

Kekuasaan hari ini yang lekat dengan konflik kepentingan, mengisyaratkan adanya kemunduran dalam proses transformasi demokratisasi sosial.

Upaya pemerintah untuk memperluas peningkatan lapangan pekerjaan, justru malah menjadi blunder besar untuk para kaum pemilik modal dalam menghisap tenaga para pekerja (kaum tertindas)

demi keuntungan besar yang mereka peroleh. Jika diteruskan jelas akan mengancam masyarakat menengah kebawah dan semakin menguntungkan para pemilik modal, sungguh ketidakseimbangan yang terjadi pada struktur masyarakat.

Pemerintah berdalih dengan terbitnya Undang Undang Ciptakerja ini dapat memperluas lapangan pekerjaan sebagai upaya pengentasan kemiskinan jangka panjang. Nyatanya di dalam Undang Undang Cipta Kerja bangsa ini seolah kehilangan kepercayaan diri dengan mempermudah alur perizinan tenaga kerja asing dengan adanya metode Omnibus Law. Omnibus Law juga mengkudeta

Undang Undang Ketenagakerjaan, menciptakan relasi kekuasaan antara buruh dan korporasi, dan memperparah kondisi ketidakpastian kerja bagi mereka.

Hal ini yang dirasakan oleh para mahasiswa setelah memperhatikan dan merunut disahkannya UU Cipta kerja amat sarat dengan kepentingan-kepentingan yang tidak mewakili pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, hingga mengakibatkan mahasiswa, buruh dan tani berteriak keras untuk menolaknya. Menyikapi hal tersebut  akhirnya diputuskan akan menggelar aksi penolakan tanggal 6 April 2023 di gedung MPR/DPR Jakarta. Mereka meyadari disaat bagi Umat Islam mewajibkan untuk berpuasa Ramadhan namun dibarengi dengan aksi penolakan yang penuh perjuangan, karena dirasakan menyangkut masa depan mereka serta bangsa ini seutuhnya.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar