SPACE IKLAN

header ads

Pemberhentian Tenaga Kontrak Bukti Pemerintah Lombok Utara Tidak Peduli Masyarakatnya


Penulisan. Dimas. 
Mahasiswa Semester VI Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Di Jawa Tengah. 

Pergantian pucuk Pimpinan di KLU yang merupakan hasil akhir dari pesta demokrasi tahun 2020 lalu di Kabupaten Lombok Utara (KLU) masih terus menyisakan pergolakan sebelum dan sesudah pelaksanaannya.

Terpilihnya pemimpin baru tidak jarang juga membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari arah pembangunan wilayah, pelayanan publik, bahkan struktur birokrasi.

Pergolakan yang muncul pasca pergantian tampuk  kepemimpinan di KLU baru baru ini adalah kebijakan pemberhentian tenaga kontrak.

Pemerintah KLU sejauh ini telah merumahkan 200 dari 2.009 tenaga kontrak yang ada, selain itu muncul juga  isu bahwa akan ada tenaga kontrak titipan yang diduga akan menggantikan mereka. Saya mengikuti pemberitaan ini melalui berbagai media online, setelah membaca artikel pemberitaan dari berbagai media saya merasa ada ketidaksesuaian alasan pemberhentian dari pemerintah dengan keterangan dari tenaga kontrak yang diberhentikan, selain itu juga ada ketidaksesuain antara implementasi pemerintah dari kesepakatan bersama DPRD KLU. Kebijakan ini telah membuat saya bertanya-tanya;

Tepatkah pemberhentian tenaga kontrak dimasa Pandemi ?.

Pemberhentian ini  sangatlah jelas tidak di lakukan pada situasi yang tepat, kenapa?

Jawabannya sederhana yakni Kita ketahui bersama bahwa pandemi covid-19 telah menyebabkan banyaknya pengangguran di KLU terlebih sebagai daerah pariwisata  tentu merasakan dampak yang besar.

Pemberhentian ini jelas akan meningkatkan angka pengangguran dan tidak tepat mengingat situasi perekonomian yang sulit saat ini. 

Saya sepakat dan sangat mengapresiasi keberpihakan dari Ketua Komisi I DPRD KLU, Fajar Marta yang dalam salah satu media online menyatakan kasihan melihat tenaga kontrak ini akan kehilangan pekerjaan akibat kepentingan dan syahwat politik. Pemberhentian tersebut jelas mencerminkan ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakatnya, terlebih muncul juga isu akan adanya orang titipan sebagai pengganti.

Sementara tidak sedikit  dari tenaga kontrak yang diberhentikan tersebut sudah mengabdikan diri dalam upaya membantu perkembangan KLU selama belasan tahun, bahkan semenjak periode pertama bupati terpilih saat ini.

Sangat disayangkan keputusan  pemerintah tersebut juga telah mengugurkan harapan dan peluang tenaga kontrak yang telah lama mengabdikan diri dapat diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).  

Selain itu, tidak adanya uang pesangon atau tali asih menunjukan belum adanya perlindungan terhadap tenaga kontrak yang berhentikan. Pemerintah berdalih ingin memberikan uang pesangon akan tetapi tidak bisa karena tidak adanya regulasi yang mengatur. Bagi saya jika pemerintah benar peduli harusnya pemerintah jangan terburu-buru melakukan pemberhentian sampai setidaknya ada regulasi tentang uang pesangon. Peristiwa saat ini harusnya menjadi pembelajaran pentingnya untuk kedepannya pemerintah dan/ataupun DPRD KLU perlu menginisiasi aturan uang pesangon atau tali asih jika suatu waktu terjadi pemberhentian tenaga kontrak, selain sebagai bentuk penghargaan  tentunya dapat membantu keuangan mereka untuk mempersiapkan mencari atau menciptakan pekerjaan yang baru. Bijaknya jika pemerintah peduli dengan masyarakatnya  tentu kebijakan ini harus evaluasi kembali sampai kondisi perekonomian akibat pandemi sudah membaik, ataupun sampai terbitnya peraturan tentang uang pesangon atau tali asih.

Benarkah kinerja menjadi alasan utama pemberhentian?

Pemerintah melalui Pj Sekda KLU, Anding menegaskan bahwa, pemberhentian tenaga kontrak murni atas penilaian kinerja, bukan karena perbedaan dukungan politik saat Pilkada 2020. Akan tetapi dilain sisi salah satu tenaga kontrak yang diberhentikan, yaitu Basir, mantan sopir dikantor Sat Pol PP  menyatakan masih kebingunanan terkait alasan pemberhentian tersebut. Dalam salah satu media online dijelaskan oleh Basir bahwa jika dirinya dikatakan tidak disiplin, tentu dirinya diberikan surat peringatan, tapi sejauh dirinya bekerja sebagai sopir dengan enam  (pergantian) Kepala dan Plt Kepala di Sat Pol PP KLU ia belum pernah menerima surat peringatan.  

Dalam lanjutannya dikatakan jika dirinya tidak becus, dirinya merasa harusnya sudah dari dulu dikeluarkan.

Pemberitaan pemberhentian tenaga kontrak ini juga mengundang komentar dari masyarakat didunia maya. Dalam salah satu artikel yang dibagikan  di grup facebook  KLU Bicara (10/01), saya tertarik dengan komentar salah satu akun yaitu  Bordex Bilbrount yang menyatakan kalau sekiranya bawahan memiliki kesalahan atau keliru maka tugas atasan (pimpinan)  perlu untuk memperingatkan bawahannya (anggota/staf), apabila sampai 3 kali tidak didengarkan barulah pantas diberhentikan. 

Dalam lanjutan komentarnya disampaikan pesan untuk belajar mawas  diri dengan mengkaji diri dan kaji rasa supaya tidak sampai menyakiti apalagi sampai mengorbankan orang lain. 

Silang pendapat antara pernyataan pemerintah dan tenaga kontrak yang diberhentikan tentu menghadirkan tanya, benarkah tenaga kontrak diberhentikan karena kinerja? Saya rasa jika memang benar kinerja menjadi alasan pemberhentian semestinya pemerintah perlu untuk menunjukan bukti hasil evaluasi tenaga kontrak yang diberhentikan secara transparan kepada tenaga kontrak yang diberhentikan sehingga tidak muncul opini liar dimasyarakat dan menunjukan bahwa pemerintah memiliki akuntabilitas, dilain sisi tenaga kontrak tersebut juga berhak untuk meminta laporan tersebut.

Jika dicermati kebijakan pemerintah ini juga telah menyalahi komitmen yang dibuat bersama DPRD KLU.

Dikutip dari  salah satu media online Ketua Komisi II DPRD KLU, Debi Ariawan, menyampaikan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah sangat tidak relevan dari hasil rapat dengan  Pj Sekda, Bappeda dan BPKAD dengan DPRD.  Kesepakatannya dalam rapa tersebut adalah pengurangan jumlah honor yang tadinya Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah menjadi Satu Juta Rupiah. Namun implementasi dari pemerintah adalah memilih opsi yang ditolak DPRD yaitu pemberhentian tenaga kontak, hal tersebut jelas melanggar kesepakatan yang ada. Selain itu juga dijelaskan dalam artikel tersebut bahwa pemberhentian/merumahkan tenaga kontrak secara besar-besaran seperti ini dipandang sangat tidak relevan dengan argumentasi yang di sampaikan terkait dengan kondisi keuangan daerah tetapi justru saat ini ada penambahan tenaga kontrak baru sebanyak 200 orang. 

Sangat lucu memang dinamika setiap pergantian kekuasaan didaerah ini, sekali lagi menurut saya ini menunjukan ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakatnya dengan mengingkari kesepakatan bersama wakil rakyatnya.

DPRD KLU sebagai perwakilan rakyat harusnya mampu hadir membela kepentingan rakyat dan ketika ada dugaan penyelewengan dari pemerintah maka wakil rakyat harus mampu bersuara lantang. Jika kesepakatan bersama dilanggar tentu DPRD KLU tidak boleh membiarkan hal tersebut terjadi, kalau perwakilan rakyat tidak dapat bertindak tegas maka marwah atau keberadaannya perlu dipertanyakan. 

Terakhir, sebagai bagain dari masyarakat KLU saya merasa praktik pemberhentian tenaga kontrak atau penambahan tenaga kontrak yang baru sebagai akibat dari pergantian kekuasan didaerah merupakan hal yang lumrah  terjadi dan sah saja, akan tetapi praktik ini tidak boleh dinormalisasi sebagai tindakan yang membudaya. Jika kinerja menjadi alasan saya akan mendukung akan tetapi jika ada motif lain seperti motif politik atau motif kolusi dan nepotisme tentu perlu untuk kita tolak bersama.

Saya rasa masyarakat Lombok Utara sangat cerdas melihat realita yang terjadi, jika kondisi ini terus terjadi maka sampai kapan tenaga kontrak akan terus  menjadi korban dalam pergantian kekuasaan di Lombok Utara?


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar