SPACE IKLAN

header ads

Tolak RKHUP Menggema di Jakarta

 

Tolak RKHUP Menggema di Jakarta

Oleh. Mell
Senin 28 November 2022.

Jakarta, WARTABUMIGORA - Ada satu hal yang lain di CFD (27/11/2022) yang biasanya diadakan di sepanjang jalan Sudirman Jakarta ini, terlihat spanduk-spanduk besar mulai membentang. Aksi sejumlah elemen masyarakat yang menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Citra Referandum mengatakan, saat aksi pembubaran ini, polisi hampir merampas spanduk peserta aksi.

"Akhirnya tidak jadi diambil. Hampir dirampas lah. Setelah negosiasi dengan kepolisian, dengan bantuan teman-teman media juga, dengan merekam situasi akhirnya tidak jadi diambil, tapi sudah pakai rebut-rebutan gitu," ujar Citra saat dihubungi, Minggu.

Citra menyebutkan, peserta aksi hari ini berasal dari LBH Jakarta, Amnesty Internasional, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, LBH Masyarakat, dan Yifos Indonesia. Aksi tersebut sebenarnya ingin memberikan informasi kepada masyarakat terkait RKUHP.

"Ini sebetulnya cara kami, sesama warga memberitahukan warga lain bahwa ada lho RKUHP lagi dibahas. Karena belum tentu semua warga Jakarta atau rakyat Indonesia tahu RKHUP," ujar Citra.

"Kita tahu bahwa enggak semua orang punya akses ke DPR. Akhirnya kami bareng-bareng, memberikan informasi kepada warga Jakarta, membagikan selebaran bahwa ada persoalan di RKUHP. Mari kita tolak pengesahan RKUHP," kata dia.

Citra mengatakan, aksi semula dimulai pukul 08.00 WIB dan berakhir sekira pukul 09.30 WIB setelah dibubarkan polisi dari Polsek Menteng.

Dalam aksi ini, peserta aksi membentangkan enam spanduk yang berisi penolakan RKUHP. Mereka mengelilingi Bundaran HI hingga akhirnya dibubarkan polisi.

Aksi tersebut merupakan pembuka sebagai bentuk protes terhadap DPR dan pemerintah yang berencana mengesahkan RKUHP sebelum masa reses ketiga atau sebelum 16 Desember 2022.

Selain aksi bentang spanduk, aksi juga dilakukan dengan membagi flyer kepada warga yang berada di area CFD terkait pasal berbahaya dari RKUHP.

Pasal-pasal kontroversial yang masih ada di draf final :

Pasal penghinaan presiden

Pasal ini pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dengan alasan warisan kolonial dan melanggar kesamaan di depan hukum. Selain itu, pasal penghinaan presiden-wakil presiden bakal menimbulkan konflik kepentingan. Sebab yang akan memproses hukum adalah kepolisian yang merupakan bawahan presiden.

Pasal penghinaan terhadap pemerintah

Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah diatur dalam Pasal 240 RKUHP. Rancangan aturan itu menyebutkan bahwa setiap orang di muka umum yang melakukan penghinaan terhadap pemerintahan yang sah yang berakibat kerusuhan. Ancaman hukumannya adalah 3 tahun penjara dan denda paling banyak kategori IV.

Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara

Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara pada Pasal 351 RKUHP dengan ancaman 1 tahun 6 bulan. Pasal 352 RKUHP lebih parah. Dia mengatakan pasal itu mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan dan lembaga negara melalui media elektronik. Pemerintah juga menambahkan Ayat (2) pada Pasal 352 dalam draf RKUHP versi 2022. Hal itu tidak terdapat pada draf RKUHP versi 2019.

Pasal tentang santet

Pasal menganai santet merupakan salah satu pasal yang menuai kontroversi jelang pengesahan RKUHP 2019 lalu. Pasalnya, hubungan kausalitas antara santet dan akibat yang ditimbulkan dari santet sulit dibuktikan. Namun, pasal tersebut masih ada dalam draf final. Yang berubah hanya bagian ancaman pidananya, dari yang sebelumnya maksimal 3 tahun menjadi 1,5 tahun.

Pasal kumpul kebo

Pasal soal kohabitasi atau kumpul kebo mengatur ancaman hukuman pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda kategori II. Dibandingkan draf tahun 2019, perbedaan juga hanya pada ancaman pidananya, sebelumnya diatur pidana penjara 1 tahun penjara.

Hukum hidup, Pasal 2 RKUHP mengakui adanya hukum yang hidup di tengah komunitas masyarakat yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mempidanakan seseorang, jika perbuatan itu tidak diatur dalam KUHP. Artinya, masyarakat bisa dipidana bila melanggar hukum yang berlaku di suatu daerah (hukum adat). Pasal ini dikhawatirkan akan memunculkan kesewenang-wenangan dan peraturan daerah yang diskriminatif.

Hukuman mati Pemerhati HAM menilai pasal ini perlu dihapus. Namun, dalam draf final pasal ini masih ada dalam pasal 67, 98, 99, 100, 101, dan 102 RKUHP.

Pasal soal demonstrasi Pasal yang mengatur soal unjuk rasa tanpa pemberitahuan ini masih ada dalam draf final RKUHP. Pasal ini dinilai bisa multitafsir pada kalimat “terganggunya kepentingan umum”.


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar