SPACE IKLAN

header ads

Ketika Gatot Nurmantyo Meneteskan Air Mata Di Diniyah Putri Padang Panjang

Gatot Nurmantyo.

OLEH : DR. Syahganda Nainggolan.

PADANG PANJANG, WARTABUMIGORA - Gatot Nurmantyo (GN) akhirnya meneteskan air mata di hadapan santri Diniyah Putri Padang Panjang, Sumatera Barat. Ini terjadi pada Sabtu sore (28/1). Di atas panggung yang menghadap santri dan guru-guru di sana, GN tak kuat menguraikan kata-kata. Tampilan tubuhnya sedikit bergetar. Lalu ada air mata di pipinya berkali-kali.

Awal mulanya acara kunjungan Gatot Nurmantyo dan rombongan di mulai dengan paparan tentang sekolah ini. Sekolah ini sudah berumur 100 tahun. Sejak Indonesia belum merdeka.

Fauziah, kepala sekolah, di atas mimbar menguraikan bahwa tahun 1923, Rahma El-Yunusiah bersumpah pada dirinya sendiri untuk membangun emansipasi perempuan. Pada masa kolonial perempuan di Minangkabau tidak mempunyai tempat dalam dunia pendidikan. Pendidikan adalah milik lelaki, apalagi semuanya pada umumnya dilangsungkan di Surau atau Masjid.

Rahma memulai sekolahnya dengan 70 murid, diantaranya ibu-ibu muda. Mereka belajar agama, kepanduan dan koperasi. Jumlah murid terus berkembang. Kesadaran berpendidikan bagi kaum wanita meluas.

Namun sekolah Diniyah Putri ini bukan sekedar sekolah biasa. Sekolah ini juga merupakan pusat perjuangan melawan kolonial Belanda. Pelajaran kepanduan yang diajarkan berguna untuk membantu pengadaan logistik pejuang-pejuang kemerdekaan kita saat berperang melawan Belanda, khususnya menjelang dan era awal kemerdekaan. Rahma menjadikan sekolah ini menjadi pusat logistik Tentara Keamanan Rakyat (TKR), tentara republik di awal kemerdekaan.

Mereka mengumpulkan bantuan masyarakat untuk gerilyawan yang menuntut dan mengobati luka-luka tentara rakyat di hutan-hutan.

Pada salah satu deskripsi tentang alumni sekolah ini, tercatat nama-nama yang luar biasa untuk dikenang. Antara lain, ada Hajjah Rasuna Said, yang menjadi pahlawan nasional. Dan Siti Nur Muhammad Nur. Hajjah Rasuna Said, namanya sudah terukir di segitiga emas jakarta, sebagai nama jalan. Namun, ketika menguraikan Sitti Nur, alumni sekolah utama ini, tak terasa kepiluan mulai menghampiri pendengar.

Sitti Nur, pada tahun 1948, mendampingi suaminya, Gaffar Rahman, yang meminta Wakil Presiden Mohammad Hatta menyelundupkan senjata dari Singapura. Gerilyawan kita sedang berperang melawan sekutu yang melakukan agresi. Pemerintah telah mengungsi ke Yogyakarta.

Dalam keadaan hamil tua, Sitti berangkat dari pelabuhan Semarang membawa rempah-rempah untuk menukar senjata. Gelombang laut yang tinggi di laut Jawa tidak menjadi halangan. Publikasinya kemudian kapal mereka tidak dapat izin masuk ke Singapura. Baru setelah diketahui ada perempuan hamil, pemerintah Singapura mengizinkan. Alhasil mereka masuk Singapura dan berhasil membeli senjata. Sitti juga melahirkan Ida Ismail (adik penyair ternama Taufiq Ismail) di sana.

Sebelumnya, ketika awal proklamasi kemerdekaan, Sitti juga menjadi penyiar radio RRI dengan Bahasa Arab, bahasa yang dipelajarinya di Diniyah Putri, bahwa Indonesia telah merdeka. Penyiaran dari radio itu didengar pemerintah Mesir sehingga Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Sekolah ini, kini, telah berdiri 100 tahun lamanya. Alumninya tersebar di seluruh dunia. Namun, sampai kini anak-anak sekolah yang memenuhi aula bersinar wajahnya. Sekolah ini telah dikenal dan mengenal dunia. Pendiriannya telah menginspirasi Universitas Al Azhar, Mesir, meniru membuka sekolah siswi putri di sana.

Al Azhar juga memberikan gelar Syeikhah pertama untuk perempuan. Sekolah ini, kini, juga masuk dalam tema global seperti teknologi informasi dan robotika. Kakak disini sudah berhasil membuat robot pelayan makanan.

Namun, mereka tetaplah anak-anak putri yang bercita-cita besar, sekaligus solehah. Dalam yel-yel yang disuarakan kepala sekolah dan diterima para siswi, tentang cita-cita, mereka ingin jadi bupati, kalau tidak jadi bupati, akan jadi istri Bupati. Mereka ingin jadi gubernur, kalau diganti, paling tidak jadi istri gubernur. Lalu, mereka ingin jadi Presiden, kalau gagal akan menjadi istri Presiden. Cita-cita dalam imajinasi hirarki politik.

Kembali soal Gatot Nurmantyo ketika dekorasi ke panggung. Pada saat Gatot Nurmantyo dipersilahkan berpidato, setelah Dr. Nurhayati Assegaf, mantan ketua Parlemen Sedunia dan Profesor La Ode Kamaluddin, mantan ketua Forum Rektor Se-Indonesia, menunggu audiensi apa yang disampaikan Pak GN ini. Sebelum di tempat ini, GN telah berbicara di hadapan 300 ratus ulama dan cendikiawan Muslim di Hotel Pangeran Padang dan ceramah di Masjid Al Hakim, Padang. Di sana Gatot gagah berpidato.

Apakah hal yang sama terjadi pada Diniyah Putri ini?

Ternyata, Gatot tidak pandai lagi tampil di hadapan ratusan siswi dan guru-guru. Bukan karena mereka semua perempuan dan anak-anak. Namun, sekolah ini benar-benar memiliki "sihir" atau "ruh" yang begitu dahsyat dari sejarah masa lalunya. Gatot selalu mengatakan dalam pidato di dua acara sebelumnya bahwa dia datang ke Sumatera Barat untuk belajar, karena wilayah ini penghasil cendikiawan besar dan pejuang pendiri bangsa. Wilayah ini memproduksi pancasila. Wilayah ini meluas ke dunia.

Di hadapan audiens Diniyah Putri, Gatot Nurmantyo, Jenderal TNI berbintang empat, ternyata gemertar dan gagal berpidato.

Gatot meneteskan air mata sambil berkata pada siswa-siswi yang memelototinya, sambil berkata, “Jika cita-cita kalian hanya ingin menjadi dokter ahli, jika cita-cita kalian mau jadi pengusaha dan lainnya, sebaiknya kalian keluar dari sekolah ini. Kalian harus meningkatkan cita-cita kalian setinggi langit, karena sekolah ini memang pantas dan hanya pantas untuk menjadi manusia-manusia unggul, yang akan membangun Bangsa Indonesia,” katanya.

Menurut saya dan Adhi Massardi, mantan juru bicara Gus Dur, yang melihat tetesan air mata Gatot Nurmantyo, itu artinya menunjukkan dia telah berguru tentang wawasan kebangsaan dan sejarah perjuangan di sekolah yang jauhnya 1339 km dari Markas TNI Cilangkap, di mana dia pernah menjadi tentara tertinggi.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar