SPACE IKLAN

header ads

𝗕𝗥𝗘𝗔𝗞𝗜𝗡𝗚 𝗡𝗘𝗪𝗦: 𝗜𝗻𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗥𝗲𝗽𝗹𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗲𝗺𝗼𝗵𝗼𝗻 𝗣𝗮𝗱𝗮 𝗦𝗶𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗣𝗿𝗮𝗽𝗲𝗿𝗮𝗱𝗶𝗹𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗗𝗶𝗴𝗲𝗹𝗮𝗿 𝗦𝗶𝗮𝗻𝗴 𝗜𝗻𝗶

Foto. Inilah Replik Dari Pemohon Pada Sidang Praperadilan Yang Digelar Siang Ini.

Oleh. HR.
selasa, 29 Agustus 2023.
Editor, Lalu.

𝗦𝗨𝗠𝗕𝗔𝗪𝗔, 𝗪𝗮𝗿𝘁𝗮𝗕𝘂𝗺𝗶𝗴𝗼𝗿𝗮 - Pembacaan Replik dalam sidang praperadilan antara dr. Dede Hasan Basri melawan Kajari Sumbawa Dr. Adung Sutranggono, SH, M. Hum yang digelar diruang candra PN Sumbawa serta dipimpin hakim tunggal Saba Aro Zendrato, SH, MH dan didampingi panitera pengganti Sahyani. 

Sedangkan dari Kejari  Sumbawa (termohon red) yakni Rika Ekayanti, SH, MH, Zanuar Irkham, SH dan A. Luga Harliato, SH, MH. 

Pembacaan replik tersebut dilakukan oleh SURAHMAN. MD, SH, MH didampingi oleh 

HASANUDDIN NASUTION, SH, MH, 

MUHAMMAD YUSUF PRIBADI, SH dan 

ELVIRA RIZKA AUDILAH, SH dari kantor Hukum SS dan Partner. 

Adapun isi replik yang diajukan oleh pemohon kepada majelis hakim yakni sebagai berikut: 

Bahwa pada dasarnya PEMOHON tetap pada Permohonan semula, dan menolak dalil-dalil yang disampaikan TERMOHON dalam Eksepsi tertanggal 29 Agustus 2023 kecuali yang secara tegas kami akui kebenarannya;

Bahwa setelah PEMOHON pelajari seluruh dalil-dalil dalam Eksepsi TERMOHON, maka PEMOHON menyatakan bahwa seluruh Eksepsi tersebut tidak berdasar dan oleh karenanya patutlah untuk di tolak;

Bahwa dalam Eksepsi TERMOHON tentang Kewenangan Absolut, pada Paragraf Pertama di halaman 5 yang menyatakan bahwa TERMOHON telah mendaftar perkara pokok ke Pengadilan Negeri Kelas IA Mataram serta telah teregistrasi di Sistim Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pada tanggal 28 Agustus 2023 adalah benar, namun persidangan pertama akan dilaksan hari selasa tanggal 3 September 2023 adalah Tidak Benar, yang benar adalah persidangan pertama yakni pada tanggal 5 September 2023, sehingga dengan adanya keterangan yang tidak benar dalam Eksepsi TERMOHON sepatutnya Ditolak;

Bahwa terhadap Eksepsi TERMOHON pada Paragraf Kedua di halaman 5 yang hanya mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2021, tanggal 28 Desember 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan sebagaimana tercantum dalam Huruf A Rumusan Kamar Pidana angka 3 menyebutkan dalam perkara tindak pidana, sejak berkas perakra dilimpahkan dan diterima oleh Pengadilan serta merta menggugurkan pemeriksaan Praperadilan  sebagimana dimaksud Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Hal tersebut TERMOHON hanya mengutip sebagian dari pada SEMA Nomor 5 Tahun 2021. 

Bahwa yang sebenarnya berdasarkan ketentuan dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan sebagaimana tercantum dalam Huruf A Rumusan Kamar Pidana angka 3 menyebutkan dalam perkara tindak pidana, sejak berkas perakra dilimpahkan dan diterima oleh Pengadilan serta merta menggugurkan pemeriksaan Praperadilan  sebagimana dimkasud Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, karena sejak dilimpahkan perkara pokok ke pengadilan status Tersangka beralih menjadi Terdakwa, status penahanannnya beralih menjadi wewenang Hakim. Dalam hal Hakim Praperadilan tetap memutus dan mengabulkan permohonan Pemohon, putusan tersebut tidak menghentikan pemeriksaan perkara pokok;

Bahwa Putusan MK Nomor : 102/PUU-XIII/2015, tanggal 9 Nopember 2016 Jo. Putusan MK Nomor : 66/PUU-XVI/2018, tanggal 30 Oktober 2018 Jo. Putusan MK Nomor : 27/PUU-XXI/2023, tanggal 25 Mei 2023 dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menegaskan Bahwa, dalam praktik ternyata ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 tersebut seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran dan implementasi oleh para hakim praperadilan. Menurut Mahkamah perbedaan penafsiran demikian bukanlah semata-mata masalah penerapan atau implementasi norma sebab perbedaan penafsiran itu lahir sebagai akibat dari ketidakjelasan pengertian yang terkandung dalam rumusan norma itu sendiri, dalam hal ini pengertian tentang “perkara mulai diperiksa” yang dapat menyebabkan gugurnya praperadilan. Tegasnya, penafsiran dan implementasi yang dimaksudkan adalah mengenai kapan batas waktu suatu perkara permohonan praperadilan dinyatakan gugur yang disebabkan adanya pemeriksaan terhadap pokok perkara di pengadilan negeri. Dalam praktik ternyata tidak ada keseragaman penafsiran di kalangan para hakim praperadilan mengenai hal tersebut. Ada hakim praperadilan yang berpendapat bahwa perkara permohonan praperadilan gugur setelah berkas pokok perkara dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilakukan registrasi di Pengadilan Negeri dengan alasan tanggung jawab yuridis telah beralih dari Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri. Sebaliknya, ada pula hakim praperadilan yang berpendapat bahwa batas waktu perkara permohonan praperadilan gugur adalah ketika pemeriksaan perkara pokok sudah mulai disidangkan. 

Bahwa hakikat dari perkara permohonan praperadilan adalah untuk menguji apakah ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 UU 8/1981 dan Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XII/2014, bertanggal 28 April 2015 yang dalam pertimbangannya pada pokoknya menyatakan, “...penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya....Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum” [vide Putusan Mahkamah nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, halaman 105-106]. Selanjutnya amar putusan Mahkamah tersebut kemudian menyatakan bahwa Pasal 77 huruf a UU 8/1981 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, sehingga tidaklah adil apabila ada perkara permohonan praperadilan yang pemeriksaannya sudah dimulai atau sedang berlangsung menjadi gugur hanya karena berkas perkara pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan telah dilimpahkan dan telah dilakukan registrasi oleh pengadilan negeri, padahal ketika perkara permohonan praperadilan sudah dimulai atau sedang berjalan, hanya diperlukan waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dijatuhkan putusan terhadap perkara permohonan praperadilan tersebut [vide Pasal 82 ayat (1) huruf c UU 8/1981]. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 telah nyata- nyata multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. 

Bahwa untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan implementasi sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan gugur pada saat telah digelar sidang pertama terhadap perkara pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan. Menurut Mahkamah, penegasan inilah yang sebenarnya sesuai dengan hakikat praperadilan dan sesuai pula dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981.

Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat bahwa norma Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 yang berbunyi, “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur” adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “perkara sudah mulai diperiksa” tidak diartikan telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan dimaksud. 

Bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. yang menyebutkan frasa “segera” atau yang pada pokoknya memerintahkan untuk mempercepat proses pelimpahan perkara dalam hal proses persidangan perkara Pidana, menurut Mahkamah hal tersebut pada pokoknya berkaitan dengan dua hal penting, yaitu:

Pertama, merupakan pelaksanaan dari prinsip peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, yaitu salah satu prinsip peradilan yang diamanatkan oleh Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahwa proses persidangan, terutama pada perkara pidana, sudah semestinya dilakukan dengan secepat mungkin untuk mencapai pelaksanaan asas kepastian hukum tanpa mengorbankan asas keadilan. Dengan demikian “kesegeraan” dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan kewajiban bagi negara, casu quo aparat penegak hukum.

Kedua, percepatan penyelesaian perkara merupakan salah satu hak tersangka dan bertujuan untuk melindungi tersangka dari kesewenang-wenangan penegak hukum yang menunda-nunda penyelesaian perkara. Lamanya penyelesaian perkara berdampak pada lamanya jangka waktu penahanan yang pada dasarnya merupakan perampasan kemerdekaan bagi tersangka. Pemeriksaan perkara yang dilakukan berlarut-larut akan menimbulkan berbagai akibat yang merugikan tersangka yang sedang diperiksa, hal ini sesuai dengan adagium umum dalam penegakan keadilan yaitu, “Justice delayed, justice denied”, atau “keadilan yang tertunda adalah keadilan yang diingkari”. Dengan perkataan lain, penundaan pelaksanaan proses penegakan keadilan oleh penegak hukum justru berpotensi menimbulkan ketidakadilan sebagai dampaknya. Hal senada juga disampaikan oleh M. Yahya Harahap dalam buku Dr. Jaholden, S.H. M.Hum yang berjudul Pra-Peradilan dan Pembaharuan Hukum Pidana berpendapat bahwa “Tenggang waktu penjatuhan putusan sidang praperadilan 7 (tujuh) hari setelah didaftarkan di kepaniteraan pengadilan sesuai dengan pemeriksan acara cepat sangat potensial disiasati untuk mengugurkan praperadilan.” Berdasarkan pendapat tersebut, PEMOHON menilai agar persidangan praperadilan ini dapat diselesaikan pemeriksan acara cepat sebagaimana Persidangan Pertama telah dimulai pada hari Rabu tanggal 9 Agustus 2023 sebagaimana RELAS PANGGILAN SIDANG KEPADA KUASA PEMOHON PRAPERADILAN Perkara Nomor : 2/Pid.Pra/2023/PN.Sbw yang telah kami terima pada hari Kamis tanggal 3 Agustus 2023, panggilan Sidang Pertama tersebut sah menurut hukum karena telah ditanta tangani serta stempel basah oleh Jurusita Pengadilan Negeri Sumbawa Besar atas nama HENDRA FERDIANSYAH serta pemberitahuan secara sah menurut hukum melaui Sistim Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Sumbawa Besar bahwa sidang Pertama dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 9 Agustus 2023 dan harus diputuskan maksimal pada hari senin tanggal 4 Agustus 2023. 

Sehingga Eksepsi TERMOHON mengenai Kompetensi Absolut sepatutnya Ditolak, dan PEMOHON meminta kepada Hakim Praperadilan untuk melanjutkan proses pemeriksaan perkara nomor 2/Pid.Pra/2023/PN.Sbw;

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar