Penulis : Michael Anshori, SH., MH.
Pengosongan lahan yang terjadi di kawasan Pantai Tanjung Aan, Lombok Tengah, pada 15 Juli 2025, menjadi potret kompleksnya tarik ulur antara pembangunan dan keadilan sosial. Proses pengosongan tersebut disebut berjalan “lancar” oleh aparat, namun menyisakan luka bagi warga yang merasa dipinggirkan dari tanah yang selama ini menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan mereka.
Hak Legal vs. Hak Sosial
Pihak ITDC selaku pemegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) mengklaim telah memiliki legalitas penuh atas kawasan tersebut. Namun, klaim legalitas tidak serta-merta menghapus kewajiban sosial dan moral terhadap warga yang telah lama bermukim dan mencari nafkah di lokasi tersebut. Dalam berbagai pemberitaan, termasuk pengakuan langsung dari pemilik usaha setempat, disebutkan bahwa sebagian lahan yang dikuasai ITDC belum dibayar lunas. Jika informasi ini benar, maka proses pengosongan patut dipertanyakan keabsahan dan keadilannya.
Pendekatan Aparat: Humanis atau Represif?
Kapolres Lombok Tengah menegaskan tidak ada pelanggaran HAM dalam pengamanan pengosongan karena tidak ada kekerasan fisik atau penggunaan senjata. Namun, perlu dikritisi, apakah ukuran pelanggaran HAM hanya sebatas kekerasan fisik semata? Tindakan menurunkan 700 personel gabungan, intimidasi psikologis, serta penahanan terhadap warga yang membawa alat kerja tradisional (parang) juga dapat dibaca sebagai bentuk pembungkaman partisipasi masyarakat.
HAM bukan hanya soal tidak disiksa, tapi juga tentang hak untuk didengar, hak atas pekerjaan, dan hak atas perlakuan yang adil. Apalagi jika pihak terdampak mengaku tidak diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi atau mencari solusi bersama secara dialogis.
Kerugian Ekonomi dan Ketimpangan Prosedural.
Warga yang menggantungkan hidup dari usaha di kawasan Tanjung Aan mengaku kehilangan pekerjaan secara mendadak. Tidak ada informasi jelas dari pemerintah atau ITDC terkait kompensasi, pendampingan sosial, atau relokasi usaha. Ini menandakan bahwa pendekatan yang digunakan masih bersifat teknokratis, bukan partisipatoris.
Rekomendasi untuk Pemerintah dan ITDC
Sebagai praktisi hukum, saya, Michael Anshori, SH., MH., menilai perlu adanya langkah korektif, antara lain:
Audit Legalitas Lahan.
Pemerintah perlu melakukan audit atas status pembayaran lahan oleh ITDC, agar tidak menimbulkan dugaan perampasan hak warga secara sewenang-wenang.
Dialog Terbuka.
Segera adakan forum mediasi yang melibatkan warga terdampak, LSM, dan akademisi guna menemukan solusi bersama secara damai.
Pemulihan Ekonomi
Sediakan skema kompensasi, pelatihan kerja, dan relokasi usaha bagi warga yang kehilangan mata pencaharian.
Evaluasi Prosedur Pengamanan Aparat keamanan perlu dievaluasi agar dalam penanganan konflik agraria, pendekatan HAM tidak sekadar formalitas, tapi menjadi roh dari setiap tindakan di lapangan.
Pembangunan yang hanya berpihak pada investor tanpa memperhatikan dimensi sosial, hanya akan melahirkan ketimpangan dan konflik berkepanjangan. Tanjung Aan bukan sekadar lahan kosong, tapi tempat hidup yang memiliki nilai, sejarah, dan identitas bagi masyarakat setempat. Negara harus hadir tidak hanya sebagai pelindung investasi, tetapi juga sebagai pelindung keadilan.

0 Komentar