SPACE IKLAN

header ads

Starlink dan Kedaulatan Indonesia

Foto. Istimewa

Jum'at, 24 Mei 2024
Oleh. Mell
Editor. Baiq Nining

𝓦𝓪𝓻𝓽𝓪𝗕𝗨𝗠𝗜𝗚𝗢𝗥𝗔.𝗜𝗗, 𝗝𝗔𝗞𝗔𝗥𝗧𝗔 - Mantan Staf Ahli Menkominfo, Henry Subiakto merasa prihatin jika Starlink masuk beroperasi di Indonesia. Starlink sendiri merupakan sebuah proyek pengembangan konstelasi satelit yang sedang dijalankan oleh perusahaan Amerika Serikat bernama SpaceX.

Proyek ini bertujuan untuk menghadirkan sebuah sistem komunikasi internet berbasis satelit yang memiliki performa tinggi serta dengan harga yang sangat terjangkau.

Dalam keterangannya Henry mempertegas, "Saya tidak setuju Starlink diijinkan beroperasi di Indonesia".

"Starlink tak hanya berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi & internet service provider, seperti group telkom, indosat dll, tapi Starlink jg bisa dimanfaatkan kekuatan sparatisme seperti KKB/OPM dll, utk komunikasi mrk tanpa terdeteksi negara atau pemerintah Indonesia". ujarnya.

Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI.

Makanya Starlink di dunia lebih banyak digunakan oleh negara2 satelit atau pendukung Amerika Serikat. 

Kenapa demikian? Karena Satelit Starlink memiliki perbedaan signifikan dibandingkan satelit biasa seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1 & satelit2 lain milik Eropa maupun AS di luar Starlink.

Starlink itu satelit Low Earth Orbit (LEO) yg beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 km di atas permukaan bumi. 

Starlink ukurannya kecil jumlahnya ribuan dirancang bekerja bersama secara sinkron menyediakan layanan internet. 

Mereka seolah seperti BTS terbang.

Sedang Satelit komunikasi konvensional ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 km di atas khatulistiwa bumi, berada di satu titik relatif tetap dari permukaan bumi. 

Untuk bisa melayani publik butuh perangkat stasiun bumi. Setiap satelit Starlink beratnya sekitar 260 kg. 

Satelit GEO lebih besar & mahal karena teknologi & perlengkapan lebih kompleks, dengan kebutuhan bertahan di orbit yang lebih tinggi.

Starlink pakai teknologi phased-array untuk antena, yang memungkinkan satelit mengarahkan sinyal tanpa harus memindahkan satelit itu sendiri. 

Sistem ini dirancang untuk latency rendah & kecepatan tinggi. Alat penangkap sinyal satelit hanya menggunakan antena kecil & alat seukuran laptop besar yg bisa dipindah-pindahkan.

Sedang Satelit GEO harus pakai antena besar yang tetap untuk komunikasi berkapasitas tinggi. 

Karena itu satelit konvensional butuh mitra untuk mendistribusikan layanannya ke masyarakat. Itulah perusahaan operator seluler & ISP yg menjadi mitranya. 

Beda dengan  Starlink yg tidak butuh mitra, mereka bisa melayani langsung ke publik tanpa pihak ketiga. 

Maka masuknya Starlink bisa jadi awal kematian perusahaan2 nasional di bidang internet, seluler dan juga satelit.

Jadi starlink bukan sekedar perusahaan perangkat dan layanan satelit semata, tapi Starlink yang berfungsi sebagai perusahaan internet service provider, bahkan bisa berfungsi sebagai platform digital, mengingat Elon Musk juga memiliki perusahaan X (dulu Twitter) yg sekarang tak sekedar medsos tapi juga mengarah jadi platform media komunikasi.

Ini bahayanya, Perusahaan Starlink trafik dan kontennya di luar jangkauan yuridiksi, kedaulatan digital & kewenangan hukum nasional, selain bisa dimanfaatkan untuk melawan kedaulatan negara &  mengancam keamanan nasional.

Perusahaan Starlink sebagai perusahaan AS dilindungi  US Cloud Act 2018. 

Data yg mereka kumpulkan atau berada di perusahaan itu tidak boleh diakses negara lain (termasuk Indonesia), tapi harus terbuka pada Pemerintah & penegak hukum AS. 

Persoalannya Starlink apa mau nurut hukum di Indonesia atau hukum AS?

Kalau mereka melayani Papua atau daerah konfik lain, datanya bisa diakses intelejen & pemerintah AS utk kepentingan politiknya. 

Sebaliknya data-data itu tidak bisa diakses pemerintah Indonesia. 

Disitulah kenapa Starlink berbahaya bagi NKRI, saat melayani wilayah gunung2 & pedalaman Papua. Seperti yg terjadi di Ukraina Starlink dipakai tentara Ukraina melawan Rusia. 

Rusia kewalahan karena  pergerakan pasukannya bisa terpantau tentara Ukraina. 

Lalu apa jadinya kalau OPM/KKB juga pakai fasilitas Starlink? 

Terlebih kalau gerakan itu didukung asing, siapa yg tanggung jawab jika  menjadi makin besar, canggih dan mampu melawan TNI/Polri atau kekuatan negara.

Bagi rakyat kecil tahunya internet murah dan sampai pelosok-pelosok pasti didukung. Tapi bagaimana konsekuensinya, itu yang harus dipikirkan ?

Agak mending kalau Elon bersedia setuju dan komit tunduk pd UU Indonesia. 

Lalu wilayah layanan tidak mencakup wilayah rawan seperti Papua? 

Apakah Elon Musk mau? Silahkan ditanyakan pada mereka!!

Mantan Staf Ahli Menkominfo dan Guru Besar Unair, Henry Subiakto

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar