𝓦𝓪𝓻𝓽𝓪𝗕𝗨𝗠𝗜𝗚𝗢𝗥𝗔.𝗜𝗗|𝗝𝗔𝗞𝗔𝗥𝗧𝗔 - Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (Purn) Marsetio meluncurkan buku berjudul 'Sea Power Indonesia di Era Indo Pasifik'. Buku ini membahas soal pentingnya kebijakan kekuatan laut Indonesia sebagai negara dengan letak geografis strategis.
Peluncuran buku ini dihadiri oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, KSAL Laksamana Muhammad Ali, hingga eks Kepala BIN Hendropriyono.
Peluncuran buku digelar di Wisma Elang Laut, Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat (6/8/2024). Marsetio juga membagikan buku karyanya kepada Luhut hingga Hendropriyono.
Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI (Purn) Marsetio menilai kawasan Indo Pasifik merupakan kawasan geografis penting dan bernilai strategis dalam peta geopolitik maupun geostrategi.
Perkembangan geomaritim dan geopolitik di kawasan indo pasifik sejatinya memerlukan pengelolaan sea power, karena kawasan ini merupakan jantung perekonomian dunia. Transformasi dari sebutan “Asia Pasifik” menjadi “Indo Pasifik” mencerminkan perubahan lanskap strategis global, sekaligus mengokohkan arti penting Indonesia di tengah percaturan global dan sekaligus sebagai penghubung Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
"Menyikapi dinamika dan perkembangan di Kawasan Indo Pasifik, TNI Angkatan Laut harus merespon dengan membangun kekuatannya untuk menjaga kedaulatan dan keamanan maritim Indonesia. Dinamika geopolitik kawasan yang dinamis di Indo Pasifik, dihadapkan dengan posisi Indonesia sebagai pivot maritim, mengharuskan Indonesia menjalankan peran diplomasi secara elegan, selain harus terus membina pertahanan maritim yang kokoh guna mengantisipasi kerawanan yang mungkin terjadi di Indo Pasifik," katanya dalam launching buku "Sea Power Indonesia di Era Indo Pasifik" (6/8/2024).
Lebih lanjut, Marsetio mengatakan dinamika tersebut diantaranya yang terjadi di Laut China Selatan (LCS), China mengubah sembilan garis putus-putus menjadi sepuluh, dan AS mendapat empat akses baru dari total sembilan pangkalan militer di Filipina, salah satunya sangat dekat dengan Taiwan, yang membuat konflik laten di LCS kian terus membara.
"Kondisi ini menarik dicermati dengan saksama, seiring dengan berubahnya taktik dan strategi negara-negara klaiman dalam penguasaan wilayah konflik," jelasnya.
"Kondisi ini menarik dicermati dengan saksama, seiring dengan berubahnya taktik dan strategi negara-negara klaiman dalam penguasaan wilayah konflik," jelasnya.
Marsetio melanjutkan, China telah menyelesaikan reklamasi besar-besaran, dan bahkan mengubah peran angkatan lautnya menjadi blue water navy dengan tiga kapal induk serta hadirnya pangkalan di luar perairan yurisdiksi China.
Untuk memperkuat klaim, China selain mengabaikan hasil Mahkamah Internasional di Den Haag, juga menghadirkan operasi nirmiliter gray zone operation di LCS. Kapal-kapal ikan dalam jumlah banyak dengan kawalan kapal-kapal penjaga pantai China beroperasi di LCS, bahkan hingga ke Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Laut Natuna Utara.
Dinamika geopolitik di Kawasan Asia Pasifik, utamanya di Laut China Selatan dan Indo Pasifik memerlukan pengelolaan kawasan berbasis pertahanan dan diplomasi maritim. Oleh karena itu, diperlukan konsepsi sea power yang sejalan dengan visi misi maritim Indonesia yang dituangkan dalam Lima Pilar Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tahun 2014 yakni:
a) Pembangunan Budaya Maritim;
b) Komitmen Menjaga dan Mengelola Sumber Daya Maritim;
c) Pengembangan Infrastruktur Dan Konektivitas Maritim;
d) Diplomasi Maritim;
e) Membangun Kekuatan Pertahanan Maritim.
Sementara dinamika lain yakni pertemuan kepentingan Amerika Serikat dan Tiongkok dengan berbagai isu seperti US Unilateralism, Free and Open Indo Pacific (FOIP), Indo Pacific Economic Framework (IPEF), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), Belt and Road Initiative (BRI), China Dream, Maritime Silk Road, Cotton Road, Look East, String of Pearl.
0 Komentar