SPACE IKLAN

header ads

Pawitra Mahameru, Kesucian Era Medang Kamulan Hingga Era Kemajemukan Zaman

Foto. Ilustrasi.

Dipersembahkan oleh : Ardi Purnomo 

Gunung Pawitra atau kita kenal dengan Gunung Penanggungan adalah dataran tinggi yang diyakini sebagai tempat suci di Jawa Timur, bahkan gunung ini disebut paling suci di antara gunung lainnya.

Gunung ini menjadi salah satu tempat paling banyak penemuan bukti peninggalan Majapahit, salah satunya adalah Candi Kendalisada.

Kerajaan Majapahit memiliki hubungan erat dengan Gunung Pawitra, dataran tinggi ini menyimpan banyak cerita kebesaran Majapahit beserta kerajaan pendahulunya.

Nama Gunung Pawitra sudah dikenal sejak masa Jawa Kuno. Kesucian Gunung Pawitra terus bertahan hingga masa jaya Majapahit dipimpin Prabu Hayam Wuruk.

Pusat Kegiatan Suci 

Salah satu cerita rakyat menyebut bahwa Gunung Pawitra adalah gunung yang 'menanggung' keseimbangan Pulau Jawa. Itulah mengapa Gunung Pawitra yang berarti 'kabut', kini lebih dikenal dengan nama Gunung Penanggungan.

Gunung ini sudah menjadi tempat yang disucikan sejak masa Kerajaan Medang Kemulan, hal tersebut ditandai dengan adanya Patirthaan Jalatunda.

Terdapat hal yang cukup istimewa pada petirthaan Jalatunda yang tidak dimiliki oleh kepurbakalaan lain. Pada dinding belakang petirthaan yang menempel di kemiringan lereng terdapat tembok balok batu yang agaknya sengaja dibuat untuk menahan lereng agar tidak longsor ke dalam kolam. Kira-kira di bagian tengah dinding berdirilah batur tempat tahta dan padmasana kosong sebagaimana yang telah diuraikan di bagian terdahulu. Di bagian utara padmasana pada dinding dipahatkan aksara Jawa kuno dengan gaya huruf “kwadrat” yang bentuknya persegi, bunyi inskripsi tersebut adalah “gempeng”. Adapun di bagian selatan batur padmasana terdapat juga inskripsi yang menyatakan angka tahun 899 Åšaka (977 M).

Pada masa Kerajaan Majapahit, fungsi utama Gunung Pawitra tidak berubah. Bahkan kejayaan Majapahit semakin mengukuhkan gunung ini sebagai tempat suci. Terbukti dengan penemuan ratusan situs yang dipercaya sebagai peninggalan Majapahit di area gunung. Termasuk juga beberapa situs yang diduga berasal sebelum masa Majapahit.

Kakawin Negarakertagama menyebutkan bahwa Gunung Pawitra merupakan satu dari tujuh gunung tempat para resi bertapa. Oleh karena itu, gunung ini juga disebut dengan pusat kegiatan kaum resi atau karsyan.  

Berdasarkan mitos Jawa seperti yang tertulis dalam Kitab Panggelaran, Gunung Penanggungan (Pawitra) adalah bagian puncak Gunung Mahameru yang tercecer saat dipindahkan ke Jawadwipa.

Gunung Pawitra sebagai Cagar Budaya

Menurut data Kemendikbud, No. Regnas CB CB.1141 dan SK Penetapan No SK : 188/18/KPTS/013/2015 Tanggal 14 Januari 2015, kawasan Gunung Pawitra telah ditetapkan sebagai area cagar budaya.

Data catatan terkini terkait jumlah situs yang tersebar di Gunung Pawitra adalah sekitar 198 situs. Data tersebut diperbarui pada tahun 2017 oleh tim peneliti Universitas Surabaya (Ubaya). Para peneliti meyakini bahwa masih banyak situs terpendam belum ditemukan di area Gunung Pawitra, tiap situs tersebut pasti memberi petunjuk untuk semakin dekat mengenal kebesaran Majapahit. 

Era Kemajemukan Zaman

Namun patut harus di waspadai dengan semakin majunya tekhnologi membawa dampak bagi lingkungan sekitar. 

Sejumlah pekerja terlihat sibuk bekerja menggunakan alat berat. Mereka mengeruk material pasir dan batu (sirtu) di lokasi tambang di lereng - lereng Gunung Penanggungan.

Material sirtu itu kemudian dimasukkan ke bak beberapa dump truck yang ada di lokasi tambang. Setelah bak penuh, dump truk yang sarat muatan itu hilir mudik melaju menelusuri jalan desa yang tak seberapa luas. Tidak mengherankan bila akhirnya permukaan jalan desa itu banyak bergelombang dengan lubang disana-sini.

Secara khusus, keberadaan tambang sirtu itu dinilai kontra produktif dengan status desanya sebagai desa wisata. Terlebih lagi, Gunung Penanggungan yang memang memiliki banyak warisan sejarah itu, telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Pengerukan batu dan pasir di lereng penanggungan sangat memprihatinkan sebab bukan hanya rusaknya lingkungan akibat pengerukan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan tetapi juga prihatin sebab juga merusak aspek historis dari gunung penanggungan, mengutip Pakar Geologi ITS, Dr Ir Amien Widodo MSi mengatakan bahwa : 

“Sampai sekarang masih banyak candi yang belum teridentifikasi dengan baik sehingga sejarahnya pun belum tersusun oleh karena itu, dengan adanya penambangan yang terus dilakukan dikhawatirkan akan ada situs sejarah yang rusak atau pun hilang, apabila penambangan sirtu dan batu andesit tidak dibatasi, maka akan menimbulkan masalah baru yakni memicu terjadinya erosi dan longsor. Hal tersebut disebabkan karena pemotongan lereng bagian bawah akan memperbesar sudut kemiringan lereng total sehingga lapisan tanah di atasnya menjadi kritis. Sedangkan permukiman penduduk dan situs-situs sejarah berada di lapisan tanah tersebut, jika terjadi longsor maka pemukiman dan situs tersebut akan ikut jatuh”. 

Dapat disimpulkan jika penambangan pasir bukan hanya beresiko merusak Lingkungan tapi juga juga aspek historis, serta mengingat Gunung Penanggungan yang merupakan gunung sakral bagi masyarakat Hindu-Budha jawa dan masyarakat adat Jawa khususnya yang berada di sekitar Mojokerto, akibat dari kerusakan lereng Gunung Penanggungan juga merusak aspek budaya dan spiritual.

Dibutuhkan langkah - langkah strategis serta sinergitas pada institusi terkait terutama Kementrian Kebudayaan, Kementrian ESDM, Kementrian Pariwisata, Kementrian Agraria dan Tata ruang, Kementrian Desa dan Pembangunan daerah tertinggal, Kementrian UMKM, Kementrian Ekonomi Kreatif, Kementrian Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup/BPLH, PemProv, PemDa serta NGO dalam menangani permasalahan yang pelik agar masyarakat di sekitar Gunung Pawitra/Penanggungan dapat tetap menjaga kelestarian alam serta terutama situs-situs purbakala yang banyak bertebaran di puncak maupun kaki gunung.

Hal ini merupakan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat serta pemerintah agar dapat mewariskan kepada generasi muda Indonesia untuk mengenal leluhur - leluhur mereka dan memahami bahwa Nuswantara ini pada dasarnya adalah pusat peradaban dunia. 

Sejarah Kerajaan - Kerajaan Nuswantara yang begitu megah serta adat istiadat yang penuh dengan kearifan ekologi merupakan akar dari berdirinya negara Indonesia harus di berikan perhatian penuh agar tidak terjadi kepunahan. Ini semua merupakan bukti - bukti kejayaan dan peradaban nuswantara yang adi luhung, adi budaya yang harus diteliti dan dibuktikan karena salah satu bukti kecerdasan dari Bangsa Nuswantara.

Seperti falssafah Jawa kuno yang mengatakan :

"Ngelmu iku kalakone kanti laku, lekase kalawan kas, tegese kas njantosani, setya budya pangekering dur hangkara."

Artinya : ilmu itu harus dilaksanakan dengan tindakan-tindakan dimulai dengan niat, maksudnya niat teguh serta berusaha mengekang terhadap nafsu angkara murka.

1 November 2024,  29 Rabiul Akhir 1446 Hijriah, 28 Bakda Mulud 1958 Jumat Pahing

Slipi, the land of the brave 


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar