SPACE IKLAN

header ads

Falsafah Tentang Kepemimpinan Era Nuswantara Klasik



Foto. Ilustrasi.

Dipersembahkan oleh : Ardi Purnomo

Sebagai etnis terbesar, Jawa memiliki konsep-konsep (selanjutnya akan disebut sebagai falsafah). Falsafah - falsafah tersebut tersebar dalam berbagai dimensi kehidupan seperti etika dan tata krama pergaulan, hubungan orang tua dan anak, hukum, keadilan dan kebenaran, ilmu pengetahuan dan pendidikan, hubungan sosial, kekerabatan dan gotong royong, kepercayaan dan religiositas, kewaspadaan dan introspeksi serta masih banyak lagi. Diantara falsafah-falsafah tersebut, falsafah kepemimpinan adalah falsafah yang paling menonjol dan dikenal luas oleh masyarakat Nuswantara. Ini tidak mengherankan mengingat masyarakat Jawa berjiwa pemimpin dan ketika orang Jawa memimpin, mereka seringkali menyatakan menggunakan falsafah Jawa (entah benar atau salah) sebagai pedoman kepemimpinan mereka.

Terlepas apakah mereka benar-benar menggunakan falsafah tersebut dalam kepemimpinan atau tidak, budaya Jawa memiliki banyak sekali falsafah tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Beberapa diantaranya adalah falsafah kepemimpinan Astabratha, falsafah kepemimpinan Tribrata, falsafah kepemimpinan Gajah Mada, falsafah kepemimpinan Sultan Agung yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing.

Empat falsafah di atas dijadikan sebagai jalan hidup yang dipegang teguh.  Falsafah-falsafah tersebut mencerminkan spiritualitas Jawa yang inspiratif dan berpengaruh besar pada pandangan hidup masyarakat Jawa secara umum.

Falsafah Pertama, Astha brata adalah falsafah yang menganggap pemimpin harus memiliki watak adil merata tanpa pilih kasih. Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak : bumi, matahari, api, samudra, langit, angin, bulan, dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut Pranoto, Surya, Geni, Banyu, Akasa, Maruto, Candra, dan Kartika.

Falsafah kedua, Tri Bata memiliki tiga prinsip yaitu (1) Rumongso melu handarbeni (merasa ikut memiliki), (2) Wajib melu hangrungkebi (wajib ikut membela dengan ikhlas), dan (3) Mulat sariro hangrasa wani (mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran). Falsafah ini masih relevan diaplikasikan di masa kini.

Falsafah Ketiga, kepemimpinan dari Gajah Mada secara garis besar memuat tiga dimensi, yaitu (1) Spiritual, (2) Moral, dan (3) Manajerial.

Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu : Wijaya yang berupa sikap tenang, sabar, bijaksana; Masihi samasta bhuwana yang berwujud mencintai alam semesta; dan Prasaja yang berbentuk sikap hidup sederhana.

Dimensi Moral terdiri dari enam prinsip, yaitu : Mantriwira yang berwujud berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan; Sarjawa upasama yang berupa sikap rendah hati; Tan satrisna yang berbentuk sifat tidak pilih kasih; Sumantri yang berwujud sikap tegas, jujur, bersih, berwibawa; Sih samasta bhuwana yang berbentuk kondisi dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat; Nagara gineng pratijna yaitu mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga.

Dimensi Manajerial terdiri dari sembilan prinsip, yaitu : Natangguan yaitu mendapat dan menjaga kepercayaan dari masyarakat; Satya bhakti prabhu yaitu loyal dan setia kepada nusa dan bangsa; Wagmiwag yaitu pandai bicara dengan sopan; Wicaksaneng naya yaitu pandai diplomasi, strategi, dan siasat; Dhirotsaha yaitu sikap rajin dan tekun bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum; Dibyacitta yaitu lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain; Nayaken musuh dengan sikap menguasai musuh dari dalam dan dari luar; Ambek paramartha yaitu pandai menentukan prioritas yang penting, serta Waspada purwartha yaitu sikap selalu waspada dan introspeksi untuk melakukan perbaikan.

Falsafah keempat adalah falsafah kepemimpinan Sultan Agung, yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing. Falsafah ini memuat tujuh amanah. Amanah pertama, Swadana maharjeng tursita, menyebutkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sosok intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu  menjalin komunikasi atas dasar prinsip kemandirian.

Kedua, Nahni bahna amurbeng jurit, menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran.

Ketiga, Rukti setya garba rukmi, menggaris bawahi bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa.

Keempat, Sripandayasih krani, yaitu pemimpin harus memiliki tekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas.

Kelima, Gaugana hasta, yaitu seorang pemimpin harus mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari guna mengisi peradapan bangsa.

Keenam, Stiranggana cita, yaitu seorang pemimpin harus memiliki keinginan kuat untuk melestarikan dan mengembangkan budaya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membawa obor kebahagiaan umat manusia.

Ketujuh Smara bhumi adi manggala, yaitu seorang pemimpin harus menjadi pelopor pemersatu dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar