SPACE IKLAN

header ads

Ternyata Ini Alasan MK Tolak Gugatan Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo

HEADLINE NEWS
Oleh. Mell
Kamis 24 Februari 2022.

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) juga memutuskan tidak menerima gugatan presidential threshold 20 persen yang diajukan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Sebelumnya, MK tidak menerima gugatan Ferry Yuliantono dengan alasan pemohon tidak memiliki legal standing atau hak hukum untuk menggugat aturan itu.

"Menyatakan tidak menerima permohonan pemohon," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan kanal YouTube MK, Kamis (23/2/2022).

MK beralasan, pemegang legal standing di pasal yang dimaksud adalah Parpol. Pasal yang dimaksud yaitu Pasal 222 UU Pemilu. Pasal tersebut berbunyi. 

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Putusan MK itu tidak bulat. Empat hakim MK menyatakan pemohon memiliki legal standing, yaitu Manahan Sitompul, Saldi Isra, Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.

Sebelumnya, dalam sidang di MK, Gatot menyatakan menolak aturan itu.

"Berdasarkan hasil analisis, hasil renungan, kami berkesimpulan, Yang Mulia, ini adalah sangat berbahaya karena presidential threshold 20% adalah bentuk kudeta terselubung terhadap negara demokrasi, menjadi partaikrasi melalui berbagai rekayasa undang-undang," kata Gatot.

"Dan ini benar-benar sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan," sambung Gatot menegaskan.

Kuasa hukum Gatot Nurmantyo, Refly Harun menilai presidential threshold bisa memunculkan capres tunggal.

"Kami lihat misalnya soal fakta politik hari ini, dominasi dari kekuatan yang hari ini berkuasa, itu sudah mencapai hampir 82% kalau kursi, dengan kurang-lebih 84% kalau basisnya adalah suara. Dan berdasarkan ketentuan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, maka bukan tidak dimungkinkan bisa adanya calon tunggal. Karena dikatakan bahwa tahapan akan diteruskan kalau memang tetap ada calon tunggal. Jadi itu yang kami khawatirkan dan ini potensial melanggar prinsip bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menganut to around system," kata Refly.


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar