SPACE IKLAN

header ads

Ekspresi Spontan Remaja di SCBD Dengan Produk FSW Itu Adalah Kegagalan Budaya Pemaksaan

Ekspresi Spontan Remaja di SCBD Dengan Produk FSW  Itu Adalah Kegagalan Budaya  Pemaksaan

Oleh. Jacob Ereste.

SOLO - Mengarahkan anak-anak muda agar dapat memberi manfaat yang lebih baik dari kegiatan mereka di area SCBD (Sudirman, Citayam, Bogor dan Depok) bisa saja dilakukan dengan memiliki secara cermat dan bijak hasrat dan keinginan dari anak-anak remaja itu dengan penuh kesadaran terapi  psikologis yang sesungguhnya mereka inginkan.

Mulai dari tempat dan waktu serta bentuk ekspresi  diri mereka yang tidak bisa dengan cara pemaksaan setidaknya oleh pihak manapun, tidak kecuali pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) ini merupakan ekspresi spontan, tanpa dikomando maupun diundang secara khusus, karena memang tidak ada panitia penyelenggara, karena semua berlangsung secara spontan tanpa batas waktu maupun tempat seperti yang mereka kehendaki atas dasar hasrat  dan naluri kreatif mereka masing-masing.

Itulah kiranya luapan ekspresi psikologis yang diwujudkan dalam beragam bentuk tampilan untuk menguji diri hingga menemukan identitas dan kepribadian diri yang sejati untuk dijadikan pilihan sikap memasuki masa depan mereka.

Begitulah fenomena khad yang menandai pembrontakan budaya anak muda dalam mencari bentuk untuk tampilan guna menentukan pilihan cara hidup di masa depan yang kelak akan mereka jalani dengan segenap kemampuan -- bakat, minat dan cita-cita -- yang dianggap ideal untuk dijalani dan ditekuni sebagai pilihan hidup yang hanya mampu sedikit diarahkan, tanpa pernah bisa sepenuhnya untuk dikendalikan oleh orang tua mereka sendiri.

Karena boleh jadi, pihak orang tua mereka sendiri yang menjadi objek-- mungkin juga subjek-- yang sedang digugat, sehingga pihak pemerintah yang memiliki kewajiban untuk mengurus rakyat tanpa jecuali -- pun cuma bisa memberi arahan semata dengan menyediakan sejumlah fasilitas yang harus tetap mengandalkan hasrat, minat dan bakat hingga selera kreatif mereka yang juga tengah mencari bentuk atau formatnya yang paling tepat, sesuai dengan selera kawula muda yang tengah bertolak dengan segenap potensi negatif dan potensi yang positif pula.

Artinya, upaya untuk mengatur selera, suka cita, hasrat dan minat hingga cita-cita kawula muda itu tidak bisa dipaksakan. Dia hanya mungkin dikompromikan dengan segenap arahan orang tua atau pemerintah yang harus dan patut dirumuskan dengan cara yang bijak, selebihnya mereka akan menentukan sendiri pilihan mereka seperti yang terjadi di SCBD yang telah melahirkan budaya baru dalam bentuk FCW yang bisa lebih dakhsyat lagi tampilan dan atraksinya, seperti fenomena dari tampilan "manusia perak" yang dapat dijumpai di berbagai tempat dan kota di seluruh Indonesia.

Fenomena "manusia perak" yang jauh lebih seru dan menyerahkan itu -- sambil meminta diberi uang dari semua warga masyarakat di jalan raya -- sesungguhnya karena tidak viral dan tidak massif saja maka sosok tampilan "manusia perak" itu tidak juga menjadi bahasan -- atau bahkan keresahan -- para pihak.

Ekspresi spontan dan original ini tak mungkin diatur dengan cara pemaksaan, karena

Jadi memang mereka itu butuh edukasi, tidak bisa diintervensi seperti polah tingkah para politisi maupun birokrat yang memiliki ketergantungan pada pihak lain. Jadi ekspresi spontan anak-anak muda ini perlu dan patut diapresiasi dengan cara dan sikap yang bijak, lantaran apa yang mereka lakukan itu merupakan perlawanan nyata budaya generasi hari ini yang sulit dipahami oleh generasi kemarin yang sudah kedaluarsa sifatnya itu.

Dialog Pagi Kompad TV yang dipandu Sutiyono justru menggiring untuk melihat kesalahan media sosial yang massif  memuat aktivitas anak-anak muda di Kawasan Dukuh Atas Jakarta ini. Hingga sebab akibat dari fenomena kawula muda ini, terkesan hendak dicarikan "kambingnya yang hitam". Padahal, sejumlah pejabat dan tokoh penting pun ikut latah memanfaatkan arena anak-anak muda itu, menjadi  momentum untuk numpang bekend.

Termasuk media televisi yang ikut menikmati berita tentang anak-anak muda itu dengan menampilkan sejumlah tokoh dan pakar untuk pasang omong, hingga fenomenal pula karena dari media televisi justru berharap pada media sosial untuk lebih berperan melakukan edukasi terhadap tingkah pola anak-anak muda yang dianggap meresahkan itu.  Artinya, fenomena dari SCBD yang telah melahirkan FCW ini, menandai kekalahan media televisi oleh media sosial yang justru bisa diharap ikut mengejukasi perilaku anak muda masa kini itu. Padahal, edukasi terhadap pelaku media sosial yang jauh lebih meresahkan, toh belum pernah dilakukan edukasi oleh instansi yang paling kompeten dan bertanggung jawab sekalipun.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar