SPACE IKLAN

header ads

Masih soal Bahaya StarLink, dari Ekosistem Negara sampai Disintegrasi Bangsa

Foto. Ilustrasi.

Oleh : Dr. KRMT Roy Suryo.

Sampai akhir Mei 2024 ini, Masyarakat masih dibuat terheran dgn Sikap (subyektif) Pemerintah cq. Rezim ini yg memberikan Karpet merah kepada Perusahaan Teknologi Informasi StarLink milik CEO Tesla & Space-X Elon Musk tsb. Tak hanya diberi panggung khusus saat pelaksanaan pembukaan WWF / World Water Forum minggu lalu di Bali, yang mana lazimnya hanya diberikan kepada tokoh selevel Kepala Negara / Pemerintahan, namun juga sempat direncanakan meresmikan Layanan StarLink-nya bersama Presiden, namun mendadak urung disaat2 terakhir & hanya ditemani Para Menteri.

Masih untung Foto yg sempat Viral (banyak disebut sebagai "Ndoro Tuan & Para Bedinde"-nya) yg menampilkan Ndoro Elon duduk sendirian seolah2 dikawal oleh Para Bedinde yg berdiri rapi dibelakangnya tsb tidak ada sosok Kepala Negara Indonesia, sebab kalaupun hal itu tidak ada dalam foto, sebenarnya perlakuan kepadanya sudah menunjukkan apa yg divisualisasikannya. Mulai dari tahun 2020 lalu Presiden kita sowan khusus kepadanya di Amerika, berbagai Upaya lobby yg coba dilakukan sebelumnya (dan nyaris tidak berhasil) sampai saat Foto kemarin, setidaknya sudah merepresentasikan hal tsb.

Bagaimana tidak? Mulai dari digadang2 ditawari akan membuat Pabrik Mobil Listrik / EV Tesla di Indonesia, kemudian terakhir sekedar hanya memproduksi Battery-nya saja, semuanya bak pepesan kosong belaka. Jadi rencana akan adanya Gigafactory Tesla sebagaimana di China, Meksiko & Jerman tampaknya masih sekedar omon-omon belaka. Terakhir meski juga belum mulai direalisasikan, Tesla lebih memilih India dibanding Indonesia utk rencana besarnya itu, padahal semua kemudahan sudah diberikan kepadanya tapi tampak masih bertepuk sebelah tangan saja.

Bisnis lain akhirnya sebagai jurus pamungkas yg ditawarkan kepada dia adalah produk Teknologi Informasi dan dijawabnya dengan StarLink, dimana sekaligus ada 3 (tiga) teknologi yg langsunf ditawarkannya: 1. Sebagai Backbone infrastruktur, dimana Satelit LEO / Low Earth Orbital bisa menggantikan fungsi BTS / Base Transceiver Station & FO / Fiber Optic, 2. Sebagai ISP / Internet Service Provider alias Penyelenggara Jasa Internet dan 3. Sekaligus sebagai Platform digital bersama Kontennya. Dengan kata lain memang StarLink ini Paket komplit, mulai dari Hulu sampai Hilirnya disediakan semuanya, "Palugada" kata orang2 alias " aPA LU mau Gue ADA".

Tetapi layaknya perusahaan yg akan beroperasi di Indonesia, seharusnya semua mengikuti Aturan main yg sudah ditetapkan Pemerintah yg waras, misalnya adalah pemenuhan syarat ULO (Uji Layanan Operasi), diantaranya adalah memiliki NOC (Network Operating Center) di Indonesia. Hal ini penting, ibaratnya orang diperbolehkan Jualan di Pasar harus jelas Toko atau Cabang2-nya yg bisa didatangi bilamana ada permasalahan di kemudian hari, karena Teknologi Informasi bukan "jual putus" semacam Bakul Gorengan atau Martabak, yg bisa saja bangkrut tanpa harus bertangungjawab thdp produk yg pernah dijualnya meski pernah diberi modal sampai Puluhan Milyar rupiah itu.

Namun pemberitaan minggu lalu membuat kita semua terheran-heran, bukan hanya ada kabar kalau Peralatan StarLink yg di Puskesmas Bali sempat dicopoti kembali usai "peresmian" yg tidak mulus alias tersendat2 koneksinya tsb (dimana ini mengingatkan kita pada Traktor2 di JawaTimur yg ditarik kembali usai ada "peresmian" beberapa tahun silam), namun pernyataan Menkominfo Budi Arie Setiadi yg ternyata malah memberi kesempatan kepada StarLink utk membuka NOC-nya sampai deadline 3 bulan kedepan. Aneh bin Ajaib, karena sebelumnya dia memastikan kalau IP yg digunakan StarLink adalah sudah IP Lokal, bukan IP Global. Namun ternyata NOC belum buka dan dikasih tenggat waktu sampai 3 bulan?

Semakin jelas disini bahwa Karpet Merah yg diberikan Rezim ini kepada StarLink akan sangat bisa membahayakan posisi Negara Indonesia dimasa mendatang, karena sejak awal kita diposisikan sebagai "bawahan" dari dia (persis penggambaran di Foto Ndoro Tuan dan Bedinde itu), apalagi mengingat Hukum Amerika US  Cloud Act 2018 yg Yurisdiksinya mengalahkan segala hukum lain apablila ada yg bertentangan dengannya. Hal tsb tentu saja sangat tidak baik utk ekosistem bisnis serupa, karena menghadirkan level playing field yg tidak sama sejak awal. Ingat saja bagaimana Telkom, Telkomsel bahkan Satelindo, Indosat dan Operator2 lain dulu harus masuk dulu ke Daerah 3T dan memenuhi semua syarat ULO sebelum operasi.

Sebenarnya kalau kita lihat kejadian bbrp bulan lalu di Ukrania, bahaya StarLink ini bukan saja hanya soal "menabrak aturan" sebagaimana awalnya ini, tetapi berpotensi "mengontrol penuh" komunikasi suatu negara bilamana diperlukan. Sebagaimana yg pernah dituliskan di The Guardian edisi Oktober 2023, dimana sempat diberitakan -meski akhirnya diralat- Elon Musk "memerintahkan" StarLink dimatikan selama serangan Drone Ukraina pada Kapal2 Rusia dekat Pantai Krimea. Sampai2 Mykhailo Fedorov, salah satu wakil PM Ukrainia memohon kepada Elon Musk utk menormalisasi hal tsb (?). Perkara krisis mirip "Pearl Harbour mini" ini benar terjadi atau tidak, sudah jelas dampaknya bisa kemana2.

Dengan demikian kondisi yg sama bisa saja terjadi bilamana Indonesia sudah tergantung kepada teknologi StarLink ini misalnya, karena disinyalir akan ada praktek "bakar dollar" dgn menjual layanannya semurah mungkin sehingga membuat kompetitornya gulung tikar semua. Kalau membaca tulisan saya sebelumnya dimana Indonesia tempo doeloe sempat sangat berjaya bahkan menjadi negara ke-3 (tiga) di seluruh dunia yg memiliki Satelit Komunikasi Palapa tahun 1976, maka kondisi sekarang sangat memprihatinkan akibat salah urus dan sifat calo dari para penjahat berkedok Pejabat di Rezim ini. Rakyat akhirnya menjadi tidak sehat akibat semua tindakan bejat.

Kesimpulannya, Pepatah lama yg mengatakan "Serahkan pada Ahlinya bila tidak ingin hancur" terbukti, mirip yg disampaikan Wapres ke-10 sekaligus ke-12 Pak Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Semua infrastruktur yg sudah dirintis sejak jaman Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Bu Mega hingga Pak SBY menjadi rusak dan terbengkalai ditangan orang2 yg tidak menguasai bidangnya, karena jangankan kualifikasi pendidikan sebelumnya bukan kompetensi jabatan sekarang yg disandangnya, tapi Ijazah yg disebut2 miliknya-pun diragukan keasliannya bahkan sampai harus dipertanyakan di sidang terbuka (dan belum jelas juga).


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar